Kicaumania

DICKO TOKOH PERBURUNGAN BLOK TENGAH: Sumur Ilmunya tak Pernah Kering

Share this...
Share on facebook
Facebook
0
Share on whatsapp
Whatsapp

POSTUR tubuhnya lumayan besar, tapi murah senyum kepada siapa saja. Dialah Dicko Apriyanto alias Gembul,  salah satu tokoh perburungan nasional asal Yogyakarta.  Selalu hadir di semua gantangan lomba burung di tanah air.

Maklum, dia dari kecil memang sudah suka burung karena sering diajak bapaknya ikut lomba. Itu berlangsng sejak awal tahun 1979 yang waktu itu masih 100 gantangan memanjang. Jumlah yang sangat banyak menurut zaman itu.

Setelah menikah tahun 1993 kesetrum bapaknya ikut memelihara burung. Pertama kali membeli jenis Murai Batu hingga berjumlah 4 ekor. Baru awal 1994, ia berani merambah lomba. “Awalnya saya menggantangkan Poksay,” ucap Dicko di rumahnya, Pogung Lor Yogyakarta, Rabu (21/2/2018).

Perjalanan setahun menggantang burung tak pernah menuai keberasilan. Tak satu pun momboyong juara.  Mental baja yang dimiliki Dicko ternyata kian matang. Ia kemudian mengincar gacoan milik Anton Yuwono sang legendaries burung di zaman itu.

Dengan harga yang sangat mahal, Poksay Gembul dan Kenari Elite hasil Take Over dari Anton Yuwono menuai keberasilan. Gaoan Dicko diawal 1996-1998 tak pernah mengalami kekelahan, hingga menambag gacoan Cendet, Hwa May, Kacer dan Branjangan.

Waktu itu kemenangan yang dibawa pulang hanya sebuah tropy berkaki empat, bukan membawa pulang uang, ataupun mobil. Tahun 1998 waktu itu banyak terjangkit krisis moneter (krismon) usaha Transportasi miliknya pun kukut alias gulung tikar.

Krismon rupanya tak membuatnya patah arang. Dicko terbilang kreatif hingga berani mendirikan Event Organizer (EO) lomba burung di luar yang lazim diselenggarakan oleh Pelestari Burung Indonesia (PBI). “Ya saya nekat bikin lomba independent meski saat itu banyak yang menentang,” kenang alumnus UPN Yogya ini.

Seperti diprediksi sebelumnya. Dalam penyelenggaraan lomba di tahun 1999 ternyata menuai keberhasilan. Pesertanya tembus 1600 alias terbesar dibanding lomba-lomba mainstream yang diselenggarakan PBI. Dari sinilah semangat memajukan dunia perburungan makin berkobar, melakukan renovasi dan menginisiasi kicaumania agar lebih kreatif dalam memoles gacoah sehingga berkualitas di gantangan lomba.

Dibantu Endik Gundul dan Agus LKMI makin bergairah, inisiatif gantangan menggunakan tenda dibuatnya. Kelas lomba makin diperbanyak. Inovasi dilakukannya denga menyuguhkant Kelas Bintang, Sejati dan Favorit yang dipakai teman- teman EO hingga sekarang.

Dicko yang kian mantab dan percaya diri ini kemudian memberanikan diri membentuk Federasi Burung Indonesia(FBI) yang ahirnya hanya berjalan setahun. Kurang puas, tahun 2004 mendirikan IBI (Ikatan Burung Indonesia) bersamaan membentuk juri Indepandent.

Lomba burung makin mewabah, hampir disetiap bulan gelaran lomba semakin rapat jadwalnya.  Hal ini menginspirasi Dicko untuk memajukan jagat lomba burung dengan cara merobak gantangan maupun hadiah. Gantangan yang waktu itu hanya menggunakan besi secara terbuka,  kemudian perlahan beratap. Itu artinya lahan baru buat Dicko yang secara menyewakan gantangan tertutup (beratap) dan berpagar yang dipakai sampai sekarang.

Inovasi juga dilakukan dalam hal hadiah. Jika dulu hanya piala saja, tapi Dicko menambahkannya dengan sejumlah barang elektronika elektronik dan uang. “Dulu seumpama lomba kelas Poksay ya hanya Poksay semua. Tapi sekarang bermacam-macam. Demikian juga gantangannya tanpa pembatas, tapi sekarang ada pagar pembatas sehingga pemain tidak ‘semau gue’. Perombakan ini kami lakukan  bersama LKMI (Liga Kicau Mania Indonesia),” terangnya.

LKMI, tutur Dicko, juga membuat liga di seluruh Blok. Pada 2002 melalui gelaran pertama Hamengku Buwono di Candi Prambanan Sleman. Gelaran LKMI dibuat seri 1-10, ada burung terbaik, juara Single Fighter (SF) dan Bird Club (BC).

Ketika kemudian banyak lahir EO baru, Dicko dan menyatakan mundur dari EO. Persaingan lomba burung makin tak sehat, banyak yang merasa tersaingi. Kader bidikan juri yang dibesut Dicko alhamdulilah mejadi senior di seluruh tanah air. Di BnR, Radjawali, Ronggolawe dan Independent dihuni juri-juri senior yang masih eksis sampai sekarang merupakan besutan Dicko.  “Saya sekarang menjadi seorang pemain saja, bersama kawan kawan lainnya,” ujar punggawa EO ini, kalem.

Tentu sebagai pemain, Dicko eksis rutin mengikuti gelaran lomba di seluruh Nusantara, tak pernah memilih siapa yang mengadakan gelaran.  “Kami tujuanya menjalin silaturohim persahabatan kepada pemula maupun wong lawas. Istilahnya banyak teman banyak rezeki,’’ terangnya.

Selain pengorbit burung jawara,  Dicko jarang mengajak kawanya untuk komplain di suatu gelaran lomba burung. Jika melihat dari sejarah yang ada, kita wajib menghargai sosok yang berani memajukan kancah perburungan.

Mungkin kicau mania yang belum paham secara utuh banyak yang menyatakan asal burung bunyi bisa dikoncer. Padahal tidaklah demikian. Dan mengenai bagaimana burung yang berkualitas?  Dicko adalah ahlinya.  Pendek kata, sosok yang satu ini memiliki segenap pengalaman tentang detail jagat perburungan. Dialah salah satu tokoh perburungan, dimana air sumur ilmunya tak akan pernah habis ditimba para kicaumania. (LJ/Me)

Anda mungkin juga suka...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

swlabs